Sistem Perekonomian Indonesia Pada Masa Orde Lama, Orde Baru dan Reformasi
SISTEM PEREKONOMIAN INDONESIA PADA
MASA PEMERINTAHAN ORDE LAMA, ORDE BARU DAN REFORMASI
1.
ORDE
LAMA
Setahun setelah pemerintahan
Belanda mengakui kedaulatan RI, tepatnya pada tahun 1950, obligasi Republik
Indonesia dikeluarkan oleh pemerintah. Peristiwa ini menandai mulai aktifnya
kembali pasar modal Indonesia.Didahului dengan diterbitkannya Undang-undang
Darurat No. 13 tanggal 1 September 1951, yang kelak ditetapkankan sebagai
Undang-undang No. 15 tahun 1952 tentang Bursa, pemerintah RI membuka kembali Bursa
Efek di Jakarta pada tanggal 31 Juni 1952, setelah terhenti selama 12 tahun.
Adapun penyelenggaraannya diserahkan kepada Perserikatan Perdagangan Uang dan
Efek-efek (PPUE) yang terdiri dari 3 bank negara dan beberapa makelar Efek
lainnya dengan Bank Indonesia sebagai penasihat.Sejak itu Bursa Efek berkembang
dengan pesat, meskipun Efek yang diperdagangkan adalah Efek yang dikeluarkan
sebelum Perang Dunia II. Aktivitas ini semakin meningkat sejak Bank Industri
Negara mengeluarkan pinjaman obligasi berturut-turut pada tahun 1954, 1955, dan
1956. Para pembeli obligasi banyak warga negara Belanda, baik perorangan maupun
badan hukum. Semua anggota diperbolehkan melakukan transaksi abitrase dengan
luar negeri terutama dengan Amsterdam.
Namun keadaan ini hanya berlangsung
sampai pada tahun 1958, karena mulai saat itu terlihat kelesuan dan kemunduran
perdagangan di Bursa. Hal ini diakibatkan politik konfrontasi yang dilancarkan
pemerintah RI terhadap Belanda sehingga mengganggu hubungan ekonomi kedua
negara dan mengakibatkan banyak warga negara Belanda meninggalkan
Indonesia.Perkembangan tersebut makin parah sejalan dengan memburuknya hubungan
Republik Indonesia dengan Belanda mengenai sengketa Irian Jaya dan memuncaknya
aksi pengambil-alihan semua perusahaan Belanda di Indonesia, sesuai dengan
Undang-undang Nasionalisasi No. 86 Tahun 1958.Kemudian disusul dengan instruksi
dari Badan Nasionalisasi Perusahaan Belanda (BANAS) pada tahun 1960, yaitu
larangan bagi Bursa Efek Indonesia untuk memperdagangkan semua Efek dari
perusahaan Belanda yang beroperasi di Indonesia, termasuk semua Efek yang
bernominasi mata uang Belanda, makin memperparah perdagangan Efek di
Indonesia.Tingkat inflasi pada waktu itu yang cukup tinggi ketika itu, yakni
mencapai lebih dari 300%, makin menggoncang dan mengurangi kepercayaan
masyarakat terhadap pasar uang dan pasar modal, juga terhadap mata uang rupiah
yang mencapai puncaknya pada tahun 1996.Penurunan ini mengakibatkan nilai
nominal saham dan obligasi menjadi rendah, sehingga tidak menarik lagi bagi
investor. Hal ini merupakan pasang surut Pasar Modal Indonesia pada zaman Orde
Lama.
Sitem Perekonomian
Selama masa orde lama, berbagai sistem ekonomi telah
mewarnai perekonomian Indonesia, antara lain :
1. Sistem ekonomi Pancasila & Ekonomi Demokrasi
: Awal Berdirinya RI
2. Liberalis
: Awal 1950an – 1957an
3. Sistem
Etatisme
: Awal 1958an – orde baru
Selama masa tersebut, telah dibentuk beberapa program
dan rencana perekonomian guna meningkatkan kualitas perekonomian di Indonesia.
Diantara program – program tersebut adalah :
·
Program
Banteng tahun 1950, yang bertujuan membantu pengusaha pribumi
·
Program / Sumitro
Plan tahun 1951
·
Rencana Lima
Tahun Pertama, tahun 1955 -1960
·
Rencana
Delapan Tahun
Namun demikian kesemua program dan rencana tersebut
tidak memberikan hasil yang berarti bagi perekonomian Indonesia. Beberapa
faktor yang menyebabkan kegagalan adalah :
·
Program-program
tersebut disusun oleh tokoh-tokoh yang relatif bukan bidangnya, namun oleh
tokoh politik, dengan demikian keputusan-keputusan yang dibuat cenderung
menitik beratkan pada masalah politik, dan bukannya masalah ekonomi. Hal ini
dapat dimengerti mengingat pada masa-masa ini kepentingan politik tampak lebih
dominan, seperti mengembalikan negara Indonesia ke negara kesatuan, usaha
mengembalikan Irian Barat, menumpas pemberontakan di daerah-daerah, dan masalah
politik sejenisnya. Akibat lanjut dari keadaan di atas, dana negara yang
seharusnya dialokasikan untuk kepentingan kegiatan ekonomi, justru dialokasikan
untuk kepentingan politik dan perang.
·
Faktor
berikutnya adalah, terlalu pendeknya masa kerja setiap kabinet yang dibentuk (
sistem parlementer saat itu ). Tercatat tidak kurang dari 13 kali kabinet
berganti saat itu. Akibatnya program-program dan rencana ekonomi yang telah
disusun masing-masing kabinet tidak dapat dijalankan dengan tuntas, kalau tidak
ingin disebut tidak sempat berjalan.
·
Disamping
itu program dan rencana yang disusun kurang memperhatikan potensi dan aspirasi
dari berbagai pihak. Disamping kutusan individu/ pribadi, dan partai lebih
dominan dari pada kepentingan pemerintah dan negara.
2. ORDE BARU
Masa
pemerintahan orde baru dimulai pada tahun 1967. Presiden Soekarno secara
resmi menyerahkan mandatnya kepada jenderal Soeharto melalui Supersemar (Surat
Perintah Sebelas Maret).Latar belakang dikeluarkannya Supersemar adalah akibat
peristiwa Gerakan 30 September 1965 (Gestapu, Gestok, atau G30S / PKI), yaitu
aksi kudeta PKI (Partai Komunis Indonesia) yang menculik dan membunuh beberapa
perwira TNI AD dan beberapa orang penting lainnya. Kejadian ini memicu
kekacauan negara.
·
supersemar
merupakan surat perintah yang dikeluarkan pada tanggal 11 maret 1966. Surat
peritah itu dibuat oleh Presiden Soekarno kepada Letjen Soeharto
·
untuk
memulihkan keadaan setelah peristiwa G 30 S/PKI pemerintah membuat surat
perintah sebelas maret yang dikenal dengan istilah Supersemar
·
Pada masa Orde
Baru , pemerintah melaksanakan pembangunan untuk menata kehidupan masyarakat.
·
Dengan
pembangunan tersebut , tercapai kemajuan dalam berbagai bidang.
·
Namun keberhasilan tersebut tidak diimbangi dengan
fondasi yang kokoh.
·
Akibatnya
ketika diterpa krisis moneter , ekonomi Indonesia mudah rapuh.
·
Dan
Supersemar merupakan tonggak lahirnya Orde Baru.
·
Penerapan
ekonomi terpimpin pada masa orde lama ternyata telah menyebabkan perekonomian
Indonesia sangat buruk.
·
Pada masa
Orde Baru pemerintah melaksanakan pembangunan di berbagai bidang, seperti
ekonomi, pendidikan, kesejahteraan rakyat, politik, dan pertahanan keamanan.
Langkah pertama yang diambil ialah dengan merencanakan program perbaikan yaitu
program : [1]penyelamatan [2]stabilitas dan rehabilitas [3]pembangunan
·
Sesuai
dengan Tap MPRS No. XIII/MPRS/1966, pemerintah memproritaskan pada pencukupan
sandang dan pangan , pengendalian inflasi, rehabilitasi prasarana ekonomi, dan
peningkatan ekspor.
·
Pada masa
Orde Baru pertanian adalah basis perokonomian Indonesia.
·
Dengan mengandalkan
devisa dari ekspor, kredit luar negeri , dan badan keuangan internasional IMF
perekonomian Indonesia mencapai kemajuan.
·
Namun pertumbuhan ekonomi tidak dibarengi dengan
pemerataan dan landasan ekonomi yang mantap sehingga ketika terjadi krisis
ekonomi Indonesia tidak mampu bertahan sebab ekonomi Indonesia dibangun dengan
fondasi yang rapuh
Jadi
kesimpulannya pada masa Orde Baru perekonomian Indonesia sangat rapuh karena
pertumbuhan ekonomi tidak dibarengi dengan landasan ekonomi yang mantap. Hal
itu mengakibatkan pada krisis ekonomi dunia ekonomi Indonesia tidak mampu
bertahan sebab fondasi ekonomi Indonesia dibangun dalam fondasi yang rapuh.
3. REFORMASI
Pada masa krisis ekonomi,ditandai dengan tumbangnya
pemerintahan Orde Baru kemudian disusul dengan era reformasi yang dimulai oleh
pemerintahan Presiden Habibie. Pada masa ini tidak hanya hal ketatanegaraan
yang mengalami perubahan, namun juga kebijakan ekonomi. Sehingga apa yang telah
stabil dijalankan selama 32 tahun, terpaksa mengalami perubahan guna
menyesuaikan dengan keadaan.
Masa Kepemimpinan Pemerintahan
presiden BJ.Habibie
Pemerintahan presiden BJ.Habibie yang mengawali masa
reformasi belum melakukan manuver-manuver yang cukup tajam dalam bidang
ekonomi. Kebijakan-kebijakannya diutamakan untuk mengendalikan stabilitas
politik. Pada masa kepemimpinan presiden Abdurrahman Wahid pun, belum ada
tindakan yang cukup berarti untuk menyelamatkan negara dari keterpurukan.
Padahal, ada berbagai persoalan ekonomi yang diwariskan orde baru harus
dihadapi, antara lain masalah KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme), pemulihan
ekonomi, kinerja BUMN, pengendalian inflasi, dan mempertahankan kurs rupiah.
Malah presiden terlibat skandal Bruneigate yang menjatuhkan kredibilitasnya di
mata masyarakat. Akibatnya, kedudukannya digantikan oleh presiden
Megawati.
Masa
Kepemimpinan K.H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur)
Dalam hal ekonomi, dibandingkan tahun sebelumnya, pada
tahun 1999 kondisi perekonomian Indonesia mulai menunjukkan adanya perbaikan.
Laju pertumbuhan PDB mulai positif walaupun tidak jauh dari 0% dan pada tahun
2000 proses pemulihan perekonomian Indonesia jauh lebih baik lagi dengan laju
pertumbuhan hampir mencapai 5%. Selain pertumbuhan PDB, laju inflasi dan
tingkat suku bunga (SBI) juga rendah yang mencerminkan bahwa kondisi moneter di
dalam negeri sudah mulai stabil.Akan tetapi, ketenangan masyarakat setelah
terpilihnya Presiden Indonesia keempat tidak berlangsung lama.
Presiden mulai menunjukkan sikap dan mengeluarkan ucapan-ucapan
kontroversial yang membingungkan pelaku-pelaku bisnis. Presiden cenderung
bersikap diktator dan praktek KKN di lingkungannya semakin intensif, bukannya
semakin berkurang yang merupakan salah satu tujuan dari gerakan reformasi. Ini
berarti bahwa walaupun namanya pemerintahan reformasi, tetapi tetap tidak
berbeda denga rezim orde baru. Sikap presiden tersebut juga menimbulkan
perseteruan dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang klimaksnya adalah
dikelurakannya peringatan resmi kepada Presiden lewat Memorandum I dan II.
Dengan dikeluarkannya Memorandum II, Presiden terancam akan diturunkan dari
jabatannya jika usulan percepatan Sidang Istomewa MPR jadi dilaksanakan pada
bulan Agustus 2001.
Selama pemerintahan reformasi, praktis tidak ada satu
pun masalah di dalam negeri yang dapat terselesaikan dengan baik. Berbagai
kerusuhan sosial yang bernuansa disintegrasi dan sara terus berlanjut, misalnya
pemberontakan Aceh, konflik Maluku, dan pertikaian etnis di Kalimantan Tengah.
Belum lagi demonstrasi buruh semakin gencar yang mencerminkan semakin tidak
puasnya mereka terhadap kondisi perekonomian di dalam negeri, juga pertikaian
elite politik semakin besar.Selain itu, hubungan pemerintah Indonesia dibawah
pimpinan Abdurrahman Wahid dengan IMF juga tidak baik, terutama karena masalah
amandemen UU No. 23 tahun 1999 mengenai Bank Indonesia; penerapan otonomi
daerah, terutama menyangkut kebebasan daerah untuk pinjam uang dari luar
negeri; dan revisi APBN 2001 yang terus tertunda pelaksanaannya.
Tidak tuntasnya revisi tersebut mengakibatkan IMF
menunda pencairan bantuannya kepada pemerintah Indonesia, padahal roda
perekonomian nasional saat ini sangat tergantung pada bantuan IMF. Selain itu,
Indonesia terancam dinyatakan bangkrut oleh Paris Club (negara-negara donor)
karena sudah kelihatan jelas bahwa Indonesia dengan kondisi perekonomiannya
yang semakin buruk dan defisit keuangan pemerintah yang terus membengkak, tidak
mungkin mampu membayar kembali utangnya yang sebagian besar akan jatuh tempo
tahun 2002 mendatang. Bahkan, Bank Dunia juga sempat mengancam akan
menghentikan pinjaman baru jika kesepakatan IMF dengan pemerintah Indonesia
macet.
Ketidakstabilan politik dan social yang tidak semakin
surut selama pemerintahan Abdurrahman Wahid menaikkan tingkat country risk
Indonesia. Ditambah lagi dengan memburuknya hubungan antara pemerintah
Indonesia dan IMF. Hal ini membuat pelaku-pelaku bisnis, termasuk investor
asing, menjadi enggan melakukan kegiatan bisnis atau menanamkan modalnya di
Indonesia. Akibatnya, kondisi perekonomian nasional pada masa pemerintahan
reformasi cenderung lebih buruk daripada saat pemerintahan transisi. Bahkan,
lembaga pemeringkat internasional Moody’s Investor Service
mengkonfirmasikan bertambah buruknya country risk Indonesia. Meskipun beberapa
indikator ekonomi makro mengalami perbaikan, namun karena kekhawatiran kondisi
politik dan sosial, lembaga rating lainnya (seperti Standard &
Poors) menurunkan prospek jangka panjang Indonesia dari stabil ke negatif.
Kalau kondisi seperti ini terus berlangsung, tidak
mustahil tahun 2002 ekonomi Indonesia akan mengalami pertumbuhan jauh lebih
kecil dari tahun sebelumnya, bahkan bisa kembali negatif. Pemerintah tidak
menunjukkan keinginan yang sungguh-sungguh (political will) untuk
menyelesaikan krisis ekonomi hingga tuntas dengan prinsip once and for all.
Pemerintah cenderung menyederhanakan krisis ekonomi dewasa ini dengan
menganggap persoalannya hanya terbatas pada agenda masalah amandemen UU Bank
Indonesia, desentralisasi fiskal, restrukturisasi utang, dan divestasi
BCA dan Bank Niaga. Munculnya berbagai kebijakan pemerintah yang controversial
dan inkonsistens, termasuk pengenaan bea masuk impor mobil mewah untuk kegiatan
KTT G-15 yang hanya 5% (nominalnya 75%) dan pembebasan pajak atas pinjaman luar
negeri dan hibah, menunjukkan tidak adanya sense of crisis terhadap
kondisi riil perekonomian negara saat ini.
Masa
kepemimpinan Megawati Soekarnoputri
Masa kepemimpinan Megawati Soekarnoputri mengalami
masalah-masalah yang mendesak untuk dipecahkan adalah pemulihan ekonomi dan
penegakan hukum. Kebijakan-kebijakan yang ditempuh untuk mengatasi
persoalan-persoalan ekonomi antara lain :
a. Meminta penundaan pembayaran utang
sebesar US$ 5,8 milyar pada pertemuan Paris Club ke-3 dan mengalokasikan
pembayaran utang luar negeri sebesar Rp 116.3 triliun.
b. Kebijakan privatisasi BUMN.
Privatisasi adalah menjual perusahaan negara di dalam periode krisis dengan
tujuan melindungi perusahaan negara dari intervensi kekuatan-kekuatan politik
dan mengurangi beban negara. Hasil penjualan itu berhasil menaikkan pertumbuhan
ekonomi Indonesia menjadi 4,1 %. Namun kebijakan ini memicu banyak kontroversi,
karena BUMN yang diprivatisasi dijual ke perusahaan asing.
Di masa ini juga direalisasikan berdirinya KPK (Komisi
Pemberantasan Korupsi), tetapi belum ada gebrakan konkrit dalam pemberantasan
korupsi. Padahal keberadaan korupsi membuat banyak investor berpikir dua kali
untuk menanamkan modal di Indonesia, dan mengganggu jalannya pembangunan
nasional.
Masa Kepemimpinan Susilo Bambang
Yudhoyono
Masa Kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono terdapat
kebijakan kontroversial yaitu mengurangi subsidi BBM, atau dengan kata lain
menaikkan harga BBM. Kebijakan ini dilatar belakangi oleh naiknya harga minyak
dunia. Anggaran subsidi BBM dialihkan ke subsidi sektor pendidikan dan
kesehatan, serta bidang-bidang yang mendukung peningkatan kesejahteraan
masyarakat.
Kebijakan kontroversial pertama itu menimbulkan
kebijakan kontroversial kedua, yakni Bantuan Langsung Tunai (BLT) bagi masyarakat
miskin. Kebanyakan BLT tidak sampai ke tangan yang berhak, dan pembagiannya
menimbulkan berbagai masalah sosial.Kebijakan yang ditempuh untuk meningkatkan
pendapatan perkapita adalah mengandalkan pembangunan infrastruktur massal untuk
mendorong pertumbuhan ekonomi serta mengundang investor asing dengan janji
memperbaiki iklim investasi. Salah satunya adalah diadakannya Indonesian
Infrastructure Summit pada bulan November 2006 lalu, yang mempertemukan para
investor dengan kepala-kepala daerah
Sumber :
https://dwihar23.wordpress.com/2012/03/30/sistem-perekonomian-indonesia-masa-orde-lama/
Komentar
Posting Komentar